Persekusi

Sedih sekali melihat kenyataan baru-baru ini tentang fenomena maraknya persekusi; sebuah aksi yang (tentu) di luar komunitas legal dengan cara sewenang-wenang melakukan intimidasi, menyakiti dan menekan seseorang yang dianggap menyampaikan sesuatu atau bebuat sesuatu yang dianggap berseberangan bagi kelompok lainnya. Bahkan secara lebih kasar bisa dibilang perilaku seperti ini pada ujungnya akan melakukan penganiayaan, bahkan penyiksaan yang ‘membunuh’—baik karakter maupun jiwa—orang lain yang berbeda.

Itulah Persekusi. Dalam konteks bahasa kita, KBBI menjelaskan Persekusi sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Fakta terbaru yang bisa kita runut di beberapa pemberitaan media kita:  kasus warga kota Solok Sumatera Barat Fiera Lovita yang menjadi korban dari adanya upaya penekanan baik fisik maupun psikologis.

Kemudian rekaman video yang viral pada Sabtu (28/5) tentang seorang anak sekira 15 tahun (berinisial PAM), yang dikelilingi puluhan orang dan ditekan untuk mengakui eksistensi sebuah kelompok ormas tertentu dan kiprah pemimpinnya selama ini. Tekanan psikologis bahkan penyerangan fisik terlihat dalam video tersebut.

Damar Juniarto, Anggota Koalisi Anti Persekusi dari SAFEnet mengibaratkan bahwa tindakan tersebut diatas selain bentuk kesewenang-wenangan, juga bisa dilakukan secara sistematis dan meluas. “persekusi itu adalah tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang dan sistematis juga luas,” katanya dalam siaran pers, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id pada Kamis (1/6).

Kenapa ya, tindakan persekusi ini bisa terjadi, bahkan akhir-akhir ini mudah sekali tersulut menjadi gerakan yang anarkhis? Menurut saya, pertama, persekusi muncul dari sikap tertutup dan tidak bisa menerima pendapat, masukan atau paham orang lain di sekelilingnya. Sehingga keberbedaan, baginya, merupakan hal yang harus di’bumihangus’kan.

Kedua, kurangnya pemahaman orang dan publik saat ini dalam upaya berinteraksi dengan orang lain atau pihak yang ‘berbeda’ di luar diri dan komunitasnya. Tentu pemahaman menjadi penting di saat pengetahuan saat ini sangat mudah didapatkan dimanapun tempatnya hanya dari sebuah gadget. Jika orang tidak pandai menyaring pengetahuan yang terpapar dari berbagai macam konten tersebut, maka pengetahuan itu akan meresap dalam otak publik dengan gaya dan alirannya sendiri, tanpa ada upaya untuk saling cross check, dialog dan komunikasi yang interaktif.

Ketiga, diakui juga, seseorang saat ini sangat dengan mudah menyampaikan sesuatu dalam sebuah status media sosial tanpa perlu mencoba menyaring isi dan maksud pesan yang ingin disampaikan tersebut. Mempertimbangkan ekses ketika sebuah pesan tersebut disampaikan, rasanya kini makin minim, untuk mengatakan tidak ada. Jadi kehati-hatian, teliti serta berlaku bijak menjadi kunci penting bagi setiap orang sebelum ketikan statusnya dibaca oleh publik di luar sana.

Keempat, makin minimnya perilaku tokoh masyarakat yang dipercaya oleh komunitas atau kelompok di daerahnya sebagai panutan yang mencerahkan. Yang terlihat justru tokoh masyarakat dan kelompok yang justru memberikan bumbu pemantik kekerasan, dan menebar kebencian terhadap pihak lain (the others) yang dianggap berbeda atau dianggap menistakan suatu agama dan/atau kelompok tertentu.

Jika unsur empat hal tersebut terpenuhi keberadaannya, niscaya semangat persekusi yang merambah masyarakat bawah kita akan sangat mudah disulut, dengan pemantik yang mudah lagi sederhana. Apalagi agenda saat ini marak untuk menghadap-hadapkan satu pihak dengan pihak lain, atas nama agama atau politik. Semua merasa benar di pihaknya, tanpa mau ada solusi dan upaya mencari penyelesaian demi jalan damai yang dicintai semua pihak.

Mari kita sama-sama bertekad untuk menghilangkan sikap-sikap tersebut di atas. Kedepankan dialog, tabayyun dan saling memahami, menghormati satu sama lain. Sifat dendam, emosional dan kebencian terhadap orang lain atau pihak yang berbeda (pendapat) maupun lain ide hanya akan menjadi monster yang siap-siap melahap kekayaan terbesar bangsa ini: Pancasila dan kebhinekaan yang telah dibangun susah payah oleh para founding fathers kita. Pun kita sama-sama mendukung pemerintah agar secara tegas menindak setiap upaya yang dianggap akan menciderai proses demokrasi bangsa kita ke depan.

Laporkan

Mengutip katadata.co.id, Saat ini, Koalisi Anti Persekusi membentuk Crisis Center untuk melindungi korban yang merasa dipersekusi, ditindas, diserang, diteror, dan ingin mendapatkan bantuan hukum.

Silakan bisa laporkan dengan mengontak hotline Crisis Center pada telepon dan pesan singkat (SMS) ke nomor 081286938292, atau melalui email ke antipersekusi@gmail.com. 

Koalisi Anti Persekusi terdiri dari sejumlah instansi dan lembaga di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, SAFENET, LBH Pers, dan Perempuan Indonesia Anti Kekerasan.

Depok, Ramadhan 8, 12.45; 3/6/2017

Tinggalkan komentar