Among-among dan 30 tahun

Di atas tampah itu aneka makanan tersaji. Nasi putih atau nasi kuning, ikan asin, kluban—lalaban daun singkong, tempe dan tahu juga tak lupa. Ada pula telur dadar yang menjadi pemanis sajian, karena dipotong-potong kecil, hingga satu telor dibuat untuk mengisi seisi tampah itu. Tak lupa pula sajian juga bubur sumsum dengan wadah daun pisang.

Itulah tradisi ‘among-among’ yang dulu di kampung saya sering digelar untuk memperingati hari ulang tahun anak-anak di kampung. Peserta among-among biasanya ya anak-anak kecil teman sebaya si-hajat yan tengah berulang tahun. Sangat sederhana namun keakraban begitu kental terasa. Undangan juga seringkali ‘getok tular’ alias lewat omongan satu ke kuping lainnya. Menyebar cepat, meski tak secepat short message service, atau BBM. Setelah berkumpul, kemudian ada sedikit pengantar dari orang tua, atau sohibul hajat, kemudian diiringi dengan doa. Selesai. Anak-anak pulang, dan membawa secercah kegembiraan di wajah-wajah mereka.

Kegembiraan mereka sepertinya bukan apa-apa, namun karena tentengan oleh-oleh yang ada di tangan mereka. Sobekan daun pisang yang sudah dilipat sedemikian rupa dan diatasnya terisi nasi kuning/putih, dengan aneka lauk-pauk khas kampung. Seperti mendapatkan hadiah yang tak ternilai harganya, anak-anak ini kemudian pulang ke rumah masing-masing dan siap-siap untuk menyantapnya. Tak jarang pula, mereka sebelumnya menyantap makanan di rumah sohibul hajat. Baru kemudian pulang dengan tentengan itu.

Itulah tradisi kecil, nan sederhana. Namun cerminan nilai-nilainya tak bisa terbilang kecil. Ada keakraban, kesederhanaan, kebersamaan, serta persahabatan di sana. Kini nilai-nilai itu sudah menjadi barang langka, mahal, serta butuh pelestarian. Tradisi perayaan milad di kampung itu kini sungguh sepi peminat. Bahkan tak lagi terdengar suaranya.

Kini, tradisi among-among mungkin sudah tergantikan dengan kebiasaan lain yang (dikesankan) lebih modern. Potong kue, tiup lilin, bahkan ada pula yang menyewa hotel dan gedung tempat-tempat lain  semacamnya, untuk memperingati sebuah acara milad. Tak lagi ada sajian ikan asin atau klubanan. Atau  bubur sumsum yang berasa daun pisang, karena ditaruh di mangkuk daun.

Dan among-among pun tergilas oleh perjalanan zaman yang begitu welcome dengan turats (tradisi) baru dari negeri orang. Sementara kebiasaan lokal yang milik kita asli justru dilupakan keberadaannya.

Saya betul-betul merindukan ‘among-among’ itu. Sebuah perayaan ulang tahun yang begitu bernilai. Sebagai pelaku, yang saya rasakan adalah persahabatan erat dengan teman-teman sebaya saya dulu, yang kini tetap masih terjalin. Itulah ikatan persahabatan yang akan berlaku lama, mungkin seumur hidup.

Sayang, anak-anak kecil saat ini tak lagi jamak menjumpai tradisi ini. Namun, saya berbisik dalam hati agar selalu dijumpakan dengan ‘kebersamaan’ seperti yang ada dari ‘among-among’ itu. Kebersamaan bersama keluarga, kebersamaan dengan manfaat orang banyak, serta yang lebih penting, kebersamaan dengan keberkahan hidup yang hanya Tuhan yang bisa berikan itu.

Sudah 20 tahun lebih saya tak menjumpai ‘among-among’, namun ucapan dan doa dan sahabat, guru, karib, kerabat sedikit menutup rasa kangen saya dengan tradisi among-among. Terima kasih saya ucapkan, wabil khusus kepada keluarga tercinta (istri dan anak saya), teman-teman, sahabat serta para pegiat facebookiyyah atau twetteriyyah di jagat maya.

Dan tak terasa, usia saya bertambah. Namun pada saat yang sama, 30 tahun juga berarti mengurangi usia hidup saya.  Hanya harapan dan doa dalam hati, Aamiinkan semua doa kawan-kawan serta sahabat saya itu Ya Allah, serta kembalikan pula harapan dan doa mereka kepada mereka semua. Semoga Tuhan memberikan balasan yang setimpal. Amiiin.

Tinggalkan komentar